NALAR LOGIKA & NALAR IMAN
Oleh : Dr. Nur Salim
Sejumlah orang yang mengikuti Musa malam itu berhimpun untuk meninggalkan kota. Mereka bersama sang Nabi mengendap-endap di kegelapan agar tak diketahui patroli tentara Fir’aun. Mereka berjalan ke arah barat menuju Palestina.
Ketika fajar menyingsing rombongan itu dikejutkan oleh bala tentara Fir’aun yang mengejar dari belakang. Orang-orang Musa yang kebanyakan mualaf (baru masuk Islam setelah Musa memenangkan pertarungan ular) sangat ketakutan. Nalar logika mereka berkata, “wahai Musa gimana ini, kita semua akan lari kemana. Dibelakang ada musuh dan depan kita ada laut ?”
Kita dapat membayangkan betapa paniknya rombongan yang sudah terdesak itu. Memori mereka tertuju pada kekejaman Fir’aun yang suka menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Ada yang dipotong kaki dan tangan secara bersilang, ada pula yang dipenggal lehernya. Dalam situasi kepanikan massif itu Musa ambil kendali.
“Sekali-kali tidak, kita tidak mungkin disusul musuh, kita akan selamat dari Fir’aun dan tentaranya. Kita punya Allah yang akan memberi cara penyelamatan”.
Musa tidak bicara dengan nalar logika tetapi dengan nalar iman. Kedekatannya dengan sang pencipta membuatanya sakinah di tengah kepanikan umatnya. Dan teriakan iman sang Nabi disambut Allah yang Maha mendengar.
“Wahai Musa, pukullah laut itu dengan tongkatmu”
Dan kita semua tahu akhir dari kisah itu. Musa dan umatnya selamat sementara Fir’aun bersama tentaranya tenggelam di laut merah. Begitulah dikisahkan dalam surat asy- syua’ara: 52-64.
Kita seringkali menyelesaikan perkara kehidupan ini hanya dengan akal. Sakit pergi ke dokter, galau berwisata, bosan dengan masakan rumah pergi kuliner, piutang tak dibayar kirim dept collector, agar cepat dapat jodoh mempercantik diri, tidak punya uang ya mencari uang dengan bekerja. Itu cara standar mengahadapi masalah hidup. Ketika perkara itu rumit, pelik, mbundet seperti benang kusut akhirnya stress. Itulah cara orang biasa seperti kaumnya Musa.
Adapun Musa bukan hanya ikhtiar lahiriah tetapi menggerakkan ruh yang dapat menggoyang langit sehingga sang penguasa turun tangan memberi penyelesaian.
Dan yang menarik penyelesaian dari Allah itu hanya sederhana dengan alat yang ada di tangan kita. Tidak serumit yang kita bayangkan. Bingung mencarikan jodoh anak ternyata “mak plekutik” dapet anak tetangga, bingung mencari obat sakit perut yang menahun sudah beobat ke dokter spesialis ke spesialis lainnya bahkan ke dokter super spesialis, ternyata Allah menyembuhkan dengan makan cacing tanah.
“Siapa yang bertaqwa Allah akan memudahkan urusannya” (At Thalaq:4)
Itu garansi dari sang pencipta, tidak pakai insya Allah. Kalau yang ngasih janji manusia harus pakai insya Allah (bila Allah menghendaki) tatapi karena datang dari pemilik kehendak maka garansi itu pasti dan benar adanya. Masalahnya apakah kita sudah pantas mendapat kemudahan itu.
Ada cerita dari dr. Agus Budiarto. Tahun 1978 terjadi musibah pesawat haji. Salah satu burung besi itu jatuh di Colombo Srilangka. Kebetulan ibu dan kakak tertua dr. Agus tahun itu pergi haji. Ia tidak tahu kloter berapa pesawat naas tersebut dan ibunya ikut kloter berapa juga tidak ia pahami. Yang terkabar adalah bahwa pesawat haji jatuh. Waktu itu belum ada HP, dan kabar berita hanya bersumber dari RRI.
Kegundahan itu mendorongnya untuk bertanya kepada sang ayah, Kyai Bulkin, “Bapak, ibu dan mas Mahmud nasibnya gimana ?”
“Sik sik sik, nko sik, nko bengi tak takon gusti Allah”
Pagi hari setalah sholat subuh, ia kembali menagih informasi tentang nasib ibunya, “Bagaimana bapak, ibu dan mas Mahmud gimana?”
“Ibumu dan mas Mahmud selamat” jawab kyai Bulkin menenangkan.
Ada jalur khusus seorang hamba yang shalih dengan Allah. Jalur penyelesaian persoalan hidup maupun jalur informasi. Untuk Nabi dan rasul dinamakan wahyu sedangkan orang-orang shalih berupa ilham atau firasat.
Pernah suatu hari Umar bin Khatab sedang khutbah jum’at, tiba-tiba ia berteriak “Ya Sariah, ya Sariah al jibal al jibal (wahai Sariah ayo naik bukit ayo naik bukit!”)
Jamaah pada terheran-heran, apa maksud Amirul Mukminin memberi komando panglima Sariah yang sedang bertempur di Syam, padahal jarak Madinah dengan tempat kecamuknya perang ribuan kilometer. Setelah pasukan selesai perang, panglima Sariah bercerita bahwa dirinya memang saat itu terdesak musuh dan hampir kalah, kemudian mendengar komando dari Umar bin Khatab agar naik ke bukit dan akhirnya pasukan Islam memperoleh kemenangan.
Begitulah nalar iman berbicara, terkadang tidak rasional tetapi secara gamblang memberi solusi. Bila selama ini kita berkutat dengan akal untuk menyelesaikan problem kehidupan, mari kita beranjak dari yang hanya rasional ke tingkat supra rasional, itulah iman. Dan ini hanya dinikmati orang-orang sholih. Wallahu’alam
Baca Juga
Baitul Maal Insan Mandiri menggelar buka puasa bersama dengan ratusan anak yatim piatu di Rumah Makan (RM) Jamboel, Gemolong Sragen.
Kegiatan sosial yang sudah berlangsung selama 4 kali ini, mengundang 1.20 anak yatim piatu dari beberapa kecamatan yang ada di Sragen.
Pernyataan Rasulullah di atas cukup gamblang bahwa orang tua itu sangat menentukan merah - hijaunya anak-anak. Orang tua yang tidak punya perhatian terhadap agama anaknya kemungkinan besar anak-anak akan apatis dalam beragama.
Ibnu Qoyim berkata,
" wa aktsarul auladi fasaduhum ihmaluhum abahum an dinihim"
Sejumlah orang yang mengikuti Musa malam itu berhimpun untuk meninggalkan kota. Mereka bersama sang Nabi mengendap-endap di kegelapan agar tak diketahui patroli tentara Fir’aun. Mereka berjalan ke arah barat menuju Palestina.
Ketika fajar menyingsing rombongan itu ......